Galeri Foto GKI Gading Indah

PADA MULANYA ADALAH ARISAN

Menjadi yang pertama dalam beberapa hal. Berkembang seiring dengan pertumbuhan kawasan. Dalam waktu yang relatif cepat menjadi Jemaat dewasa. "13 juta rupiah, itu harga rumah pertama saya di Kelapa Gading" jelas Markus K. Hidajat mengingat masa-masa awal hidupnya di Kelapa Gading pada sekitar tahun 80-an. "Saya dan Diany sama-sama bekerja, gaji kami masing-masing 500 ribu rupiah. Kami beranikan diri mencicil rumah di Kelapa Gading, uang mukanya 6 juta rupiah, sisanya dicicil 500 ribu perbulan. Jadi kami hidup hanya dari uang gaji istri saya." kenangnya. Kelapa Gading pada tahun 80-an memang baru mulai berkembang menjadi sebuah perumahan baru di daerah perbatasan Jakarta Utara dan Jakarta Timur.


Banyak keluarga muda, seperti keluarga Markus dan Diany Subianto, yang baru mulai merintis kehidupan di kawasan baru tersebut, karena harganya yang masih terjangkau sekalipun lokasinya pada waktu itu termasuk "pinggiran". Termasuk banyak juga keluarga muda yang menjadi anggota Jemaat sejumlah GKI (Jabar) di Jakarta, khususnya GKI Gunung Sahari, GKI Samanhudi, GKI A. Yani (sekarang menjadi GKI Kayu Putih) dan GKI Layur.

Maka mulailah bersemi "bibit-bibit" dari persekutuan yang kelak menjadi GKI Gading Indah, mulai dari kegiatan-kegiatan yang ber- sifat non-formal/tidak resmi. Di antaranya adalah ber- kumpulnya sejumlah ibu-ibu muda yang mengadakan acara arisan di rumah kediaman keluarga Pdt. Lukito Handoyo. "Tapi kita tidak cuma arisan, biasanya mulai dari dengar firman (persekutuan - red), baru kita arisan lalu kita bikin kue bareng." kenang Elsye Toehgiono akan kegiatan tersebut.


"Kira-kira tahun 1981-an. Waktu itu saya belum Kristen, gara-gara ikut-ikutan acara tersebut lama-lama saya tertarik, sampai akhirnya ikut katekisasi dan dibaptis tahun 1985 di GKI Kayu Putih.", lanjutnya. Elsye dan kawan-kawannya yang terlibat dalam arisan itu, antara lain Erna Indrayani, Indriawati Santoso, Jani Jeremia, Liestya Ch. Zakaria, kelak akan menjadi cikal bakal dari persekutuan wanita atau lebih akrab disebut "KW", singkatan dari Komisi Wanita (penyebutan populer yang sebenarnya kurang tepat, karena "Komisi" seharusnya merujuk pada badan yang mengurusnya, bukan persekutuannya sendiri).


Bermula dari kegiatan-kegiatan non-formal tersebut, maka mulailah diadakan persekutuan oleh Jemaat-jemaat GKI tersebut di wilayah Kelapa Gading. Diawali oleh GKI Gunung Sahari pada tahun 1980, lalu GKI Samanhudi pada tahun 1984. Dalam persekutuan- persekutuan tersebut, terlontarlah ide untuk membentuk persekutuan yang lebih luas di antara anggota-anggota Jemaat GKI Jabar. Pada umumnya mereka sudah saling mengenal, khususnya lewat interaksi sehari- hari di kawasan Kelapa Gading yang waktu itu relatif masih belum terlalu luas. Inisiatif dari "akar rumput" ini disambut oleh Jemaat asal masing-masing, sehingga mulailah dilakukan sejumlah pembicaraan untuk mempersiapkannya. Beberapa nama yang dapat disebut, selain keluarga Markus Kurniawan Hidajat, antara lain adalah keluarga Jan H. Atmadjaja, Irwan K. Sutiono, Junus Mardjuadi. Agus Sandjaja, Iksan Tadius, Henri Darmawan, Rudy Santosa, dan masih banyak lainnya. Selain mereka yang kemudian akan menjadi anggota- anggota Jemaat awal dari GKI Gading Indah kelak, ada juga sejumlah aktifis yang sekalipun sangat terlibat dalam kehidupan bergereja di GKI Gading Indah, namun juga tetap menjadi anggota Jemaat asalnya. Di antaranya pasangan suami istri Tulus-Yati, Rudijanto Gunawan, Leslie Chandra dan sejumlah nama lainnya.


Akhirnya setelah melalui berbagai pertemuan, disepakatilah pada tahun 1986 untuk membentuk sebuah Pos Kebaktian- Pelayanan-Kesaksian (KPK) Kelapa Gading, dengan GKI Gunung Sahari sebagai Jemaat Induk, mewakili ke-empat Jemaat pemrakarsa. Beberapa tokoh yang berperan dalam proses pembentukan ini antara lain alm. Pdt. Lukito Handojo (Sekretaris umum Badan Pekerja Majelis Sinode GKI Jabar, juga Pdt. GKI Gunung Sahari), alm. Pdt. Clement Suleeman (GKI Samanhudi), Pdt. Johannes Loing (GKI A.Yani/Kayu Putih), Pdt. John Panuluh (GKI Layur) dan Pnt. TB Tjandra dari Badan Pekerja Klasis Jakarta Timur. Pembentukan Pos KPK Kelapa Gading menjadi sejarah di GKI Jabar karena untuk pertamakalinya sebuah Pos Jemaat dibentuk dan didukung oleh 4 Jemaat, dengan para pengurus yang berasal dari keempat Jemaat tersebut. Juga pertama kalinya digunakan istilah Pos KPK di lingkungan GKI Jabar. Akhirnya pada tanggal 23 Maret 1986 (berdekatan dengan ulang tahun GKI Jabar pada tanggal 24 Maret), diadakan kebaktian peresmian Pos KPK Kelapa Gading dan pengangkatan pengurus Pos KPK, dipimpin oleh Pdt. Lukito Handojo. Kebaktian tersebut diadakan di rumah tinggal keluarga Agus Sandjaja/Elly Iskandar, Jl. Kelapa Kopyor Raya Blok M1/1.


Jl. Raya Kelapa Kopyor Blok M 1/1 (tahun 2015) semasa menjadi pos KPK.


Pos KPK Kelapa Gading berkembang dengan relatif cepat, seturut dengan kawasan Kelapa Gading yang semakin ramai. Selain ibadah minggu, juga mulai dilangsungkan pelayanan-pelayanan lainnya seperti kebaktian anak/sekolah minggu, persekutuan doa, pemahaman Alkitab (PA), latihan paduan suara.


Pada periode ini juga mulai dijajaki kemungkinan pengadaan sarana tempat ibadah yang lebih permanen dan memadai, pada akhirnya terwujud dengan pembelian rumah di Jl. Gading Indah III NF1/20. Pada periode ini mulai diadakan pulalah pelayanan katekisasi. sehingga pada akhirnya pada tanggal 16 Juli 1988 dilayankan untuk pertama-kalinya sakramen Baptis/Sidi dan Baptis Kudus Anak. Seiring dengan perkembangannya, pada tanggal 23 Oktober 1988 Pos KPK Kelapa Gading ditingkatkan status-nya menjadi Bakal Jemaat GKI Gunung Sahari di Kelapa Gading

Terus berkembangnya Bajem Kelapa Gading, baik dari sisi kehadiran umat dalam ibadah maupun sisi sumber daya manusia pada akhirnya membuat proses pendewasaan nya secara organisatoris juga berlangsung relatif cepat. Setelah melalui proses gerejawi yang melibatkan Badan-badan yang lebih luas (Badan Pekerja Majelis Klasis Jakarta Timur dan Badan Pekerja Majelis Sinode GKI Jabar) lewat persidangan dan perlawatan-perawatan maka pada tanggal 7 Mei 1990 diadakan kebaktian peresmian GKI Gading Indah sebagai Jemaat yang dewasa.



Pada hari Minggu, 6 Desember 1987 secara resmi gedung di Jl. Gading Indah III NF1/20 resmi dipakai sebagai tempat kebaktian baru Pos KPK Kelapa Gading. Minggu depannya, 13 Desember 1987 juga untuk pertama kalinya diadakan kebaktian remaja di Pos KPK Kelapa Gading.


Bersamaan dengan itu diadakan juga peneguhan sebagai Penatua dalam diri 15 orang calon Penatua sementara 1 orang yang berhalangan hadir karena berada di luar kota akan diteguhkan pada bulan September. Ke-16 orang Penatua ini, bersama dengan Pdt. Johannes Loing (GKI Kayu Putih) selaku pendeta konsulen, yang kemudian membentuk Majelis Jemaat GKI Gading Indah yang pertama. Anggota Jemaat yang tercatat sebagai anggota Jemaat pertama GKI Gading Indah adalah sebanyak 160 orang anggota Sidi (dewasa) dan 94 orang anggota Baptis (anak). Tema Ibadah tersebut adalah "Hidup dan Bertumbuh dalam Kristus", seakan mencerminkan harapan di awal langkah baru perjalanannya sebagai sebuah Jemaat mandiri, yang dipanggil untuk berkarya dalam konteksnya, lewat persekutuan-kesaksian- pelayanan-nya.





Minggu, 17 Oktober 2004, pk. 17.00, berlangsunglah kebaktian syukur sekaligus peresmian penggunaan gedung gereja baru GKI Gading Indah, kini dengan 3 lantainya


33 tahun kemudian, tentulah banyak hal telah berubah dalam kehidupan berjemaat di GKI Gading Indah. Para aktifis yang dahulu adalah keluarga- keluarga muda, kini tentu telah menjadi keluarga-keluarga yang cukup senior, bahkan beberapa telah menyandang status "lansia". Cukup banyak juga yang telah berpindah domisili sehingga kemudian bergereja di Gereja lain. Dari segi kehidupan bergereja sendiri misalkan ditandai dengan pembentukan Komisi Lansia sebagai badan pelayanan yang melayani jemaat berusia lanjut, dimana sebelumnya dilayani oleh Komisi Dewasa (dahulu disebut Komisi Wanita), Komisi Lansia adalah komisi berdasarkan kategorial usia yang terakhir dibentuk di GKI Gading Indah (sedangkan lainnya: Remaja, Pemuda, Wanita/Dewasa sudah ada sejak masa-masa awalnya), menandakan bertambahnya usia Jemaat ini. Namun demikian banyak ciri-ciri awalnya yang tidak berubah, di antaranya kegemaran untuk berkumpul dalam kegiatan-kegiatan non-formal seperti arisan. Semangat kebersamaan, kumpul-kumpul inilah yang sudah "membidani" lahirnya Jemaat ini, dan akan terus mewarnai kehidupannya.

Catatan Perjalanan Sebuah Jemaat GKI GADING INDAH